R.A. Kartini lahir
pada 28 Rabi’ul Akhir tahun Jawa 1808 (21 April 1879). Ia adalah keturunan
ningrat Jawa. Ayahnya seorang Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat dan ibunya bernama M.A. Ngasirah. Ia memiliki ‘darah pesantren’
karena sang ibu merupakan putri dari Nyai Hajjah Siti Aminah dan Kyai Haji
Madirono, seorang guru agama Teluwakur, Jepara.
Saat itu
pemerintah kolonial mengharuskan seorang bupati untuk memperistri perempuan
berlatar belakang bangsawan. Karena ibu kandung Kartini bukan bangsawan, maka
ayahnya menikah lagi pada tahun 1875 dengan Raden Ayu Muryam yang masih
keturunan raja-raja Madura. Istri kedua Sosroningrat ini kemudian menjadi garwa
padmi (istri pertama) dan Ngasirah menjadi garwa ampil.
Kartini merupakan keturunan keluarga
yang cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat menjadi bupati
dalam usia 25 tahun. Ia adalah bupati pertama yang mendidik anak-anaknya,
laki-laki maupun perempuan dengan pelajaran ala barat. Tjondronegoro
tidak mempedulikan celaan dari bupati-bupati lain, bahkan beberapa tahun
sebelum ia meninggal ia berkata, “Anak-anakku, jika tidak mendapat pelajaran,
engkau tiada akan mendapat kesenangan, turunan kita akan mundur, ingatlah.”
Semasa
kanak-kanak, Kartini terkenal gesit, lincah, dan mudah bergaul. Kebiasaan ini
ia gambarkan dalam sebuah surat kepada sahabat penanya, Estelle “Stella”
Zeehandelaar yang ditulis pada 18 Agustus 1899.
“Saya dinamakan kuda kore, kuda
liar, karena saya jarang berjalan, tetapi selalu meloncat-loncat dan berlari.
Bagaimana saya dimaki-maki karena terlalu sering tertawa terbahak-bahak yang
dikatakan tidak pantas, oleh sebab memperlihatkan gigi saya.”
Kartini kecil sangat dekat dengan ayahnya. Ia bertanya kepada
ayahnya, “Jadi apakah aku kelak?” Sosroningrat tak pernah menjawab, hanya
menjawil pipi Kartini sambil tertawa. Yang menjawab adalah salah seorang kakaknya yang berkata, “Jadi apa gadis-gadis kelak? Jadi Raden Ayu tentu!”
Kartini puas dengan jawaban ini, walaupun nantinya ia akan mengkaji dan
merenungkan apakah yang dimaksud dengan Raden Ayu itu.
Kekaguman Kartini
terhadap ayahnya dituliskannya dalam surat untuk Stella Zeehandelar pada 25 Mei
1899.
“Ia dapat
begitu lembut, dan dengan lunaknya mengambil kepalaku pada kedua belah
tangannya, begitu hangat dan mesranya tangannya merangkul daku, untuk
melindungi aku daripada bencana yang datang menghampiri. Ada aku rasai cintaku
yang tiada terbatas kepadanya dan aku menjadi bangga, menjadi berbahagia karenanya.”
Tahun 1881 Raden
Mas Adipati Ario Sosroningrat diangkat menjadi Bupati Jepara. Kartini dan
keluarganya pindah dari rumah keastistenwedaan, mereka berhak tinggal di rumah
dinas Bupati Kabupaten Jepara. Sosroningrat memasukkan Kartini ke Sekolah
Rendah Kelas Dua Belanda di Jepara atau lebih dikenal dengan 2e Klasse
Holandsche School. Sebenarnya tindakan
tersebut membuat Sosroningrat melanggar aturan adat di mana perempuan apalagi
perempuan pribumi pada masa itu sama sekali tidak diperbolehkan mengenyam
pendidikan modern. Namun ia
bersikeras meyakini bahwa anak perempuannya harus bisa menikmati pendidikan
tanpa harus kehilangan kepribadian dan adat istiadat.
Saat itu sistem
pendidikan masih kental dengan melekatnya unsur diskriminasi. Dalam suratnya
yang ditulis tahun 12 Januari 1900 Kartini menceritakan:
“Orang-orang
Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju,
kemudian mereka mengambil dan menantang terhadap kami. Aduhai! Betapa banyaknya
duka cita dahulu semasa masih kanak-kanak d sekolah; para guru kami dan banyak
di antara kawan-kawan sekolah kami mengambil sikap permusuhan terhadap kami.
Tetapi, memang tidak semua guru dan murid membenci kami, banyak juga yang
mengenal kami dan menyayangi kami, sama halnya terhadap murid-murid lain.
Kebanyakan guru tidak rela memberikan angka tertinggi pada anak Jawa, sekalipun
murid itu berhak menerimanya.”
Pada awal 1892 setelah lulus dari ELS, Kartini diharuskan memulai
masa pingitan. Ia harus mengasingkan diri dan dilarang keluar dari lingkungan
rumahnya. Ia seolah-olah merasa dibelenggu dan dirantai oleh adat yang berlaku. Namun
ia tetap tegar dan mencari akal supaya apa yang terjadi pada dirinya tidak
membatasi tekadnya. Di dalam kurungan ia berhasil membaca buku-buku modern
kiriman kakaknya, RM Panji Sosrokartono
dari Belanda. Salah satu dari sekian banyak buku yang sangat digemari yaitu Minnebrieven karya Multatuli. Selain
buku-buku perjuangan, Kartini juga gemar membaca buku-buku tentang perjalanan
dan sastra klasik, seperti sastra Jawa dan Yunani. Banyaknya
buku yang dibaca sedikit demi sedikit menambah wawasannya. Ia pun memperoleh
inspirasi untuk meneguhkan prinsipnya tentang perjuangan kesetaraan perempuan
yang selama ini terbelenggu oleh adat istiadat.
 |
boeklog.info |
Saat berada dalam
masa pingitan Kartini pun mulai mengenal dunia korespondensi. Ia mulai belajar
menulis surat-surat dan artikel yang rupanya memikat perhatian kaum elit
Belanda. Korespondesi Kartini berawal dari saat ia menyurati Marie Ovink,
seorang feminis penulis buku remaja di Belanda dan kontributor untuk majalah
mingguan perempuan muda Belanda, De
Hollandsche Lelie. Tak hanya berlangganan, Kartini juga berkenalan dengan
Johanna van Woude, pengasuh majalah tersebut. Melalui Johanna Kartini
menuliskan iklan yang memuat permintaannya mencari sahabat pena. Iklan
tersebut dijawab oleh Estelle Zeehandelaar atau lebih akrab disapa Stella
Zeehandelaar. Surat pertama Kartini pada Stella bertanggal 25 Mei 1899. Berikut
kutipan penggalan surat Kartini,
“Panggil aku Kartini saja, itu namaku. Kami
orang Jawa tidak punya nama keluarga. Kartini sekaligus nama keluarga dan nama
kecilku.”
Korespondensi
antara Kartini dan Stella membahas berbagai topik, Kartini juga membahas
tradisi perjodohan, poligami, tertindasnya nasib perempuan Jawa, kebijakan
politik kolonial, hingga keinginannya bersekolah di Belanda. Perkenalan Kartini
dengan Stella dan Marie Ovink membuka pergaulannya dengan kalangan pendukung
politik etis serta feminis lainnya, seperti Abendanon dan istrinya, Rosa
Manuela Abendanon-Mandri dan masih banyak lainnya. Bahkan Christiaan Snouck
Hurgronje, ahli Islam yang membantu Belanda menaklukkan Aceh, menyarankan Tuan
dan Nyonya Abendanon untuk bertemu dengan Kartini.
Tahun 1900
Abendanon dan istrinya bertandang ke rumah Bupati Jepara bertemu Kartini serta
adik-adiknya. Inilah kesempatan Kartini menyampaikan gagasannya mengenai
pendidikan bagi perempuan. Cerita yang disampaikan dengan gigih tersebut
membuat Abendanon terenyuh. Dengan sepenuh hati mereka memberikan bimbingan
kepada Kartini.
Di Pantai Bandengan, 24 Januari 1903
sekitar 7 kilometer ke arah utara
Jepara, Jawa Tengah Kartini berbincang serius dengan Jacques Henrij Abendanon
perihal rencana Kartini dan Rukmini yang ingin melanjutkan belajar ke Belanda.
Kakak beradik itu mendapatkan beasiswa berkat bantuan Hendri Hubertus van Kol,
anggota parlemen Belanda yang berpengaruh. Namun impian Kartini harus sirna,
Abendanon berhasil meyakinkan Kartini bahwa pergi ke Belanda sama sekali tidak
menguntungkan bahkan hanya akan merugikan cita-citanya. Abendanon beralasan, jika
Kartini dan Rukmini pergi ke Belanda, mereka akan dilupakan masyarakat, padahal
mereka ingin mengabdi kepada bumiputera. Selain itu kondisi ayah Kartini yang
sudah sepuh dan sakit-sakitan membutuhkan perhatian putra-putrinya. Abendanon
juga khawatir bila keduanya nanti akan dicap sebagai Noni Belanda sekembalinya
ke Tanah Air, sehingga pribumi tidak akan mempercayakan anak-anak gadisnya
belajar pada mereka. Sehingga kemungkinan sekolah yang diimpikan Kartini akan
gagal. Dengan berat hati Kartini melepas beasiswa pendidikan ke Belanda bersama
adiknya, Rukmini.
Atas petunjuk Tuan
dan Nyonya Abendanon, Kartini mengirim surat kepada pemerintah agar ia bisa
mendapat beasiswa untuk belajar di Sekolah guru di Batavia. Sambil menunggu permohonannya
dikabulkan Tuan Abendanon menganjurkan Kartini untuk mendirikan sekolah untuk
gadis di daerahnya. Tahun 1903 Kartini berhasil mendirikan sekolah untuk
perempuan di Jepara. Beranda di belakang rumah yang dulu ia dan adik-adiknya
gunakan untuk mengaji disulap menjadi sebuah sekolah.
Saat Kartini menunggu keputusan beasiswa dari Batavia
tiba-tiba Bupati Sosroningrat menerima utusan Bupati Djojo Adiningrat dari
Rembang yang membawa surat lamaran untuk Kartini. Kedua Bupati ini saling
mengenal baik. Meski gembira karena akhirnya ada yang melamar anaknya, namun
Sosroningrat dan istrinya tetap menyadari bagaimana pandangan Kartini mengenai
perkawinan, terlebih lagi calon menantu mereka menduda sejak garwo padmi (istri
pertama)
wafat. Selain itu ia memiliki selir dengan tujuh anak. Kartini tertekan dan
merenung mempertimbangkan masa depannya. Kartini tak berdaya menerima cobaan
tersebut, ia lalu menyetujui saran ayahnya untuk menikah, dengan alasan di
Rembang ia bisa meneruskan cita-citanya membuka sekolah didampingi suami yang
berpendidikan tinggi dan punya kekuasaan.
Namun Kartini
menerima pinangan tersebut dengan syarat sang bupati menyetujui gagasan dan
cita-citanya, ia juga meminta diperbolehkan membuka sekolah dan mengajar
putra-putri pejabat Rembang seperti yang ia lakukan di Jepara. Syarat lain yang
lebih radikal adalah saat upacara pernikahan Kartini tidak mau ada prosesi
jalan jongkok, berlutut dan menyembah kaki mempelai pria. Terakhir ia akan
berbicara Bahasa Jawa ngoko, bukan kromo inggil pada suaminya
untuk menegaskan bahwa seorang istri haruslah sederajat. Semua syarat tersebut
diterima oleh Djojoadiningrat. Meski telah menikah Kartini tetap melanjutkan
usaha mengembangkan sekolah bagi perempuan yang diberi nama Sekolah Gadis.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru, Kartini bekerja dengan tekun, ulet
dan penuh dengan kegembiraan.
Pada tanggal 17 September
1904 Kartini menghembuskan napas terakhir. Empat malam sebelumnya Kartini
melahirkan anak tunggalnya yang diberi nama R.M. Soesalit. Proses persalinan
Kartini tidak berjalan lancar. Untuk mempercepat kelahiran, Revesteijn
menggunakan alat bantu. Kartini berhasil melahirkan dengan selamat dan kondisi
sehat namun operasi persalinan itu meninggalkan sedikit rasa tegang di perut
Kartini. Pada hari keempat dokter kembali memeriksa perut Kartini, ketegangan yang
dirasakan dianggap sebagai luka ketika melahirkan. Namun ternyata luka tersebut
mematikan bagi Kartini.
Meskipun telah
wafat namun secara lambat laun cita-cita luhur Kartini bagi perempuan perlahan
menjadi kenyataan. Sekolah-sekolah bagi kaum perempuan pun mulai bermunculan.
Pada tahun 1904 misalnya, Dewi Sartika mendirikan Sakola Kautamaan Istri. R.A.
Kardinah adik R.A. Kartini setelah menjadi istri Bupati Tegal mendirikan
Sekolah Kepandaian Putri. Kemudian mulai tahun 1912 secara berturut-turut sekolah
Kartini berdiri, mulai dari Semarang, Bogor, Jakarta, Madiun, Rembang, dan
Malang.
Sumber:
·
Kartini Guru Emansipasi Perempuan Nusantara karya Ready Susanto
·
R. A. Kartini : Biografi Singkat 1879-1904 karya Imron Rosyadi
#onedayonepost
#ReadingChallengeOdop
#Tugaslevel2
#level2tantangan2
Inspiratif sekali mbak.. semoga kita bisa meneruskan perjuangan cita2 beliau..
BalasHapusAamiin...
Hapus