 |
pexels.com/Marko Blazevic |
Hujan turun
semakin deras, Tejo basah kuyup lalu berlindung di bawah pohon besar. Lelaki
itu tak menyadari sudah lari sejauh ini. Tak ada satu rumah pun dilihatnya. Sesekali petir menyambar, tiba-tiba teringat pesan ibu
dulu bahwa kalau hujan disertai petir jangan berada di bawah pohon. Tapi
bagaimana lagi, tak ada pilihan lain. Setelah dipikir-pikir tidak mungkin ia
bermalam di sini, daripada sudah terlanjur basah lebih baik ia melanjutkan
perjalanan siapa tahu ada tempat berteduh yang lebih layak di sana.
Sepertinya langit
iba padanya, setelah beberapa langkah ia berjalan hujan berangsur-angsur jadi
gerimis saja. Keberuntungan lain pun mengikuti, sebuah gubuk nampak di ujung
sana. Bergegas ia menghampiri. Gubuk tua itu tertutup rapat. Tejo
memutuskan untuk tiduran di kursi panjang yang kebetulan ada di depan gubuk.
Ingatannya kembali pada kejadian sore tadi, anak buah lintah darat itu
mendobrak pintu rumahnya. Tejo yang belum punya uang untuk membayar hutang
dihajar habis-habisan. Beruntung ia berhasil kabur, dan lari sejauh-jauhnya hingga
tersesat di dalam hutan ini.
“Hei, anak muda
kemarilah.”
Tejo terkejut
setengah mati, ia segera bangun dan mencari sumber suara. Ternyata berasal dari
seorang nenek yang mengamatinya entah sejak kapan. Tejo pun menuruti.
“Masuklah anak
muda,” pinta nenek tersebut sambil membuka pintu lebih lebar.
Gubuk tua itu
tampak berdebu, beberapa sarang laba-laba terlihat di sana. Tak banyak
perabotan di dalamnya. Sepertinya nenek itu tinggal sendirian.
“Aku tak bisa
menyalakan perapian ini, bisakah kamu membantuku?”
Tejo mengangguk,
pantas saja sulit untuk dinyalakan. Kayu-kayu itu basah, bahkan ia pun tak
mampu membuat api itu menyala.
“Nek kayunya
basah, adakah kayu kering?”
“Emmm, coba kau
cari di bawah sana. Hari ini punggungku sakit sekali, aku takut tidak bisa naik
ke atas lagi jika sudah turun,” ujar nenek itu menunjuk sebuah tangga di balik
pintu yang terbuka.
Rupanya itu ruang
bawah tanah, Tejo memungut beberapa kayu lalu kembali ke perapian. Beberapa
menit kemudian api menyala. Nenek itu tersenyum girang.
“Terima kasih anak
muda, mungkin aku bisa mati kedinginan jika api ini tak menyala juga.”
Nenek itu kemudian
memberikannya sepiring singkong goreng dan secangkir teh. Sungguh nikmat
sekali, apalagi perutnya tak terisi sejak siang tadi. Melihat bajunya yang
basah, Tejo diberinya beberapa helai baju lusuh. Mungkin milik suaminya. Tejo
meminta izin untuk bermalam di gubuk itu, tentu saja dengan senang hati nenek
tersebut mempersilakan. Esok paginya Tejo meminta diri untuk pulang.
“Ambillah ini.” Nenek
itu menyodorkan sebuah kotak kecil kepadanya.
“Apa ini Nek?”
“Tanda terima
kasihku, bukalah ketika di rumah.”
Tejo pun
menerimanya, ia sudah tak sabar untuk sampai rumah. Kira-kira apa isi kotak
itu? Tejo sedih sekali melihat rumahnya porak-poranda. Beberapa perabotnya pun
tak ada, sepertinya diambil oleh para lelaki berotot besar itu. Tak apa, asalkan
dirinya selamat itu sudah cukup. Akhirnya ia membuka kotak berwarna biru tua
itu. Ternyata sebuah pensil. Tejo mendadak lesu mengingat pemberian itu tak
begitu menarik baginya. Namun ada sebuah kertas terlipat rapi di sana yang
membuatnya penasaran.
Akan
jadi nyata kecuali hewan dan manusia
Apa maksudnya?
Tejo pun mengambil secarik kertas untuk menjawab pertanyaannya. Ia menggambar
sebuah pisang, ajaib , gambar itu berubah menjadi nyata. Pisang itu benar-benar
ada di depan matanya. Ia mencoba memakannya, dan rasanya seperti pisang pada
umumnya. Tejo tertawa girang, ini hadiah yang menakjubkan. Ia pun tanpa pikir
panjang menggambar uang, agar segera melunasi hutangnya.
Tapi sepertinya
keahlian Tejo dalam menggambar menjadi hambatannya. Tak ada satu pun uang yang
berhasil digambarnya. Karena keseringan mengulang gambar pensil itu diraut
terlalu sering dan semakin pendek. Tejo pun khawatir, ia tak bisa memanfaatkan
benda ajaib itu sebaik mungkin karena alasan keahlian menggambarnya yang buruk.
Akhirnya ia memutuskan untuk berguru kepada ahlinya. Tentu saja ia harus
bekerja banting tulang terlebih dahulu untuk membayar biaya pelatihan yang
cukup mahal. Tak apa, nanti akan tergantikan dengan pensil ajaib itu.
Semakin hari
keahlian menggambar Tejo semakin meningkat. Beberapa kali ia berhasil menggambar
uang dengan menggunakan pensil ajaib itu. Tentu saja ini membuatnya bahagia.
Kini ia tak terlilit hutang lagi. Bahkan ia berhasil membeli satu ekor sapi. Ke
manapun Tejo
pergi pensil ajaib itu selalu dibawanya. Termasuk saat memandikan sapinya di
sungai sore ini. Sialnya pensil itu terjatuh dan terbawa arus sungai, Tejo
berusaha untuk mengejarnya tapi tak berhasil meraihnya. Hilang sudah benda
ajaib kesayangannya.
Kesedihan pun
datang menghampiri Tejo
"Bodohnya aku hingga tak berhasil menjaganya baik-baik," keluhnya.
Tejo pun mencoba menghibur diri dengan menggambar meskipun bukan dengan pensil
ajaib lagi. Tejo tak menyangka hasil
belajarnya selama ini membuahkan hasil, gambar-gambar yang begitu indah. Semakin hari ia semakin rajin
menggambar, beberapa hasil karyanya diikutkan dalam acara pameran. Pundi-pundi
rupiah pun ia terima dari gambar-gambar itu. Ah, Tejo bahagia sekali mengapa ia
tak berlatih menggambar sejak dulu saja.
Pensil ajaib itu mungkin hilang, tapi keahlian menggambar menjadi
sumber kebahagiaannya sekarang. Terima kasih, Nek!
#Tantangan Fiksi Fantasi
Wah kereenn oi..
BalasHapusNgga perpengalaman bikin fantasi akutu 🙈
HapusBagus tulisannya mb aku suka
BalasHapusMakasih mba 🙏
HapusKeren tulisannya, pesannya juga dapet
BalasHapusMakasih mba hehe
HapusDuuuh jdi keinget target nge-skets 1 hari 1 skets 😢😢😢
BalasHapusKuy mba ngeskets lagi hehe
Hapuskeren idenya
BalasHapusMakasih mba wid
HapusBagus! Pesan moralnya juga dapet banget. Kerrrreeeeen
BalasHapus🙈
Hapuside ceritanya ok
BalasHapus🤗
Hapus