 |
pexels.com |
Dinda masih menangis sejak dua jam
lalu. Wajahnya menelungkup di atas bantal. Entah sudah berapa ratus lembar tissue
yang ia habiskan malam ini. Sesekali ia melirik ponsel yang tergeletak di sampingnya.
Semakin lama ia menatap gambar di layar itu, semakin keras tangisannya. Sementara
itu, di ujung kasur yang berbeda Anita hanya menatap sahabatnya iba. Tak tahan
dengan kondisi itu, akhirnya ia mendekati Dinda, mencoba menghiburnya.
“Sudahlah Dinda, ikhlasin aja
ya,” ujarnya sambil mengelus rambut sahabatnya.
“Tapi Nit, kamu kan tahu aku sudah
mencintai Kak Rian tiga tahun lamanya,” ia meraih selembar tissue lagi , “sakit
hati aku tuh Nit.”
“Iya aku ngerti, tapi sampai kapan
kamu mau nangis terus begini?”
“Selamanya ...” jerit Dinda.
“Hush, jangan begitu dong Dinda
cantik.”
“Kamu tahu nggak Nit, aku sampai
bela-belain ikut organisasi yang sebenarnya nggak aku sukai demi bisa ketemu
Kak Rian setiap hari.”
Anita hanya mengangguk kini. Ia
mencoba membiarkan sahabatnya mengeluarkan seluruh unek-uneknya. Berharap bisa
membuatnya lebih lega.
“Terus nih ya, tiap hari, tiap jam
aku pantengin terus postingan dia nggak ada satupun ada gambar wanita di
dalamnya, jangankan wanita bicara tentang cinta saja tak pernah,” Dinda menyeka
air matanya, “tapi kenapa tiba-tiba sekarang dia menikah coba?”
“Iya Din,
sabar ya.”
Dinda bangun
dari posisi tidurnya kemudian merangkul sahabatnya. Rasa kehilangan kini telah
menusuk hatinya yang terdalam. Ia tak menyangka kisah cintanya akan bertepuk
sebelah tangan. Matanya menerawang ke arah langit-langit, sialnya di sana pun
ia temukan wajah Kak Rian tengah tersenyum bahagia dengan kekasih halalnya. Ia
melepaskan diri dari Anita, kembali menutup wajahnya dengan bantal. Gelap,
lebih baik begini tak ada wajah itu lagi.
Anita kemudian
keluar meninggalkan sahabatnya, ia mengambil sepiring nasi goreng yang sudah
dingin karena terlalu lama menunggu untuk dimakan. Sementara tangan kirinya membawa satu gelas es jeruk
yang baru saja ia keluarkan dari kulkas. Menu kesukaan Dinda.
“Din, makan
dulu gih,” bujuknya. Sementara itu sahabatnya hanya menggelang.
“Ini nasi
goreng spesial Mang Acep loh, ekstra ayam pula.”
Bujukannya berhasil, meski lambat
akhirnya sahabatnya melahap habis nasi goreng itu. Sepertinya Dinda memang
sudah lapar dari tadi, hanya saja ia malu jika harus mengambil makanan sendiri
sambil menangis. Setelah kenyang, Dinda meringis di depan sahabatnya.
“Makasih ya.”
“Iya, udah ya jangan sedih terus bisa jadi ia tidak berjodoh denganmu
karena kamu pantas mendapatkan jodoh yang lebih baik darinya.”
“Hmmm, gitu ya Nit semoga jodoh aku sama
sholehnya dengan Kak Rian ya,” ujar Dinda penuh harap.
“Tapi, bisa jadi juga kamu tidak berjodoh
dengannya karena ia pantas menemukan jodoh yang lebih baik dari kamu.”
“Anita ...” kini Dinda berteriak. Nasihat
terakhir temannya itu sungguh menyayat hati. Memang begitulah Anita, selalu
ceplas-ceplos dalam menasehati. Tapi jika dipikir lebih jauh lagi perkataan itu
ada benarnya juga, jodohmu adalah cerminan dari dirimu.
#TantanganODOP4
#OneDayOnePost #ODOPbatch6 #fiksi
Keren 😍
BalasHapusTerima kasih sudah mampir 🙏
Hapus