 |
pixabay.com/sabinevanerp |
Hari ini kau memasuki ruangan
bercat ungu ini. Umurmu 50 tahun, aku pernah mendengarnya sayup-sayup saat
suamimu memberikan kue ulang tahun
dua bulan lalu. Jari-jarimu yang mulai keriput masih saja gesit mengelap
barang-barang yang tersusun rapi di atas meja kayu pojok kamar ini. Tiba-tiba
kamu terdiam saat menyentuh sebuah foto di ujung meja, sebuah senyum kecil tersungging
dari wajahmu.
Meski
samar, dalam foto itu tampak putri kecilmu yang kini mulai tumbuh dewasa
tersenyum girang di antara kedua saudaranya. Namanya Amira Putri Melati,
barisan kata itu terpampang nyata dalam gantungan dinding yang terbuat dari kayu
berukir. Ah ... sudah secantik apa dia sekarang, hampir setahun ia tak pernah
terlelap di kamar ini. Padahal dulu, ia gadis yang tak pernah bisa jauh dari
meja belajarnya. Jika pulang sekolah, maka cukup sudah tumpukan buku-buku tebal
menjadi teman sejatinya.
Kini
kau beralih pada foto yang lain, di sana kulihat Amira bergaya bak model
seorang diri. Anakmu memang cantik, bahkan teramat cantik. Bulu matanya lentik,
matanya berbinar, senyumnya ceria membuat orang lain yang melihatnya ikut larut
dalam kebahagiaan. Pernah ia membawa teman-teman sekolahnya bermain di sini,
menurutku tak ada satu gadis pun yang menandingi. Beruntungnya lagi, selain
cantik ia pun baik hati. Seekor kucing pernah ia pungut dari pasar dan
dirawatnya dengan sabar hingga tumbuh besar. Ia sering bercerita tentang
kelembutan belaian anak gadismu padaku bila berhasil menyelinap masuk di
ruangan ini.
Kulihat
kau mengambil ponsel kecil yang sedari tadi bersembunyi di balik saku bajumu. Kau
memencet tombol nomor lalu mengangkatnya di telinga kirimu, entah siapa yang
kau hubungi. Namun sepertinya panggilanmu tak terjawab meski kau telah
mengulangnya tiga kali. Tiba-tiba tetes demi tetes air mata jatuh di pipimu.
Aku tak mengerti, apa yang membuatmu bersedih hati. Hingga kau berbisik pada foto
yang baru saja kau letakkan.
“Amira,
Ibu rindu.”
Adzan
dzuhur yang mulai bekumandang membuatmu bergegas mengusap air matamu. Segera
kau membereskan peralatan dan meninggalkan ruangan ini. Sebelum menutup pintu,
sempat kulihat kau memandangiku sejenak. Lalu sebuah senyum kecil tersungging
untukku, boneka kelinci kesayangan gadismu sejak berumur lima tahun dulu.
#Day41 #ODOPbatch6 #OneDayOnePost
Komentar
Posting Komentar