15 menit sudah aku berada di dalam bus dengan kursi yang mulai usang itu. Aku
menengok ke belakang, hampir seluruh kursi terisi. Beberapa detik setelah
seorang gadis dengan ransel hitam duduk di sampingku, bus kami akhirnya perlahan meninggalkan hiruk pikuk terminal Purabaya. Aku mulai menyandarkan kepala,
suara alunan musik menemani keasyikanku memandangi jalanan di luar jendela. Aku
tersenyum, dulu ketika pertama kali datang ke kota ini gedung-gedung itu tampak
sangat mengagumkan. Setelah beberapa tahun bertemu, aku semakin akrab dengan
bentuk, warna, dan posisi mereka berdiri, rasa kekagumanku pun belum pudar sama
sekali. Kini mereka seolah melambaikan tangan padaku, mengucapkan kalimat
sampai jumpa tiga hari lagi. Lamunanku buyar saat gadis di sampingku menepuk
pundakku. Aku menoleh, kulihat pak kondektur sudah bersiap meminta ongkos perjalananku.
“Tuban
Pak,” aku menyodorkan uang pas yang sudah kusiapkan di saku jaket. Bapak dengan
kumis tebal itu menukarnya dengan karcis dan segera beralih ke penumpang lain.
“Mbak
dari Tuban mana?” gadis berkerudung merah jambu itu memulai percakapan.
“Widang
Mbak, Mbak sendiri dari mana?” tanyaku sambil melepas headset yang sudah
kupasang sejak memasuki bus tadi, sebisa mungkin aku mencoba menghargai orang
lain yang berbicara denganku.
“Saya
dari Tambakboyo Mbak, lagi kuliah ya Mbak?” tuturnya dengan logat Jawa yang
masih kental.
“Owalah
dari daerah Tambakboyo ya, iya
Mbak saya masih kuliah.”
Obrolan kami berlangsung cukup panjang.
Setelah berkenalan akhirnya aku mengetahui bahwa gadis bernama Risti itu baru
berkuliah satu semester. Kami saling bercerita tentang pengalaman kami selama
tinggal jauh dari keluarga.
“Wah
saya biasanya pulang tiap satu minggu sekali Mbak,” ujarnya sambil memperbaiki
posisi duduknya.
Aku
tersenyum kecut, selama tiga setengah tahun kuliah jumlah kepulanganku ke
kampung halaman hampir bisa dihitung dengan jari. Padahal lama perjalanan yang
harus kutempuh kurang lebih hanya tiga jam saja. Saat liburan semester datang
aku pun girang, bukan karena akan pulang tapi itu adalah waktu yang tepat untuk
mencari pekerjaan sampingan lebih banyak lagi. Memang benar aku beruntung
mendapatkan beasiswa selama kuliah, tapi aku masih harus bersusah payah mencari
rupiah untuk bisa bertahan hidup jauh dari rumah. Sejak kelas 1 SMP, atau lebih
tepatnya setelah Bapak meninggal hampir seluruh biaya pendidikanku dicukupi
oleh Mbak Mayang, rasanya sudah tidak pantas lagi bila aku terus menerus
menjadi beban bagi kakak perempuanku yang sudah berkeluarga itu.
“Orang
tua Mbak over protective begitu juga tidak sama Mbak?” tanya Risti
mengagetkanku.
“Maksudnya?”
“Yaaa ...
seperti Ibu saya tiap hari telepon minimal tiga kali sudah seperti minum obat
saja,” keluhnya.
“Oh ...
namanya juga jauh dari anak,” jawabku pendek.
Dalam
hati aku mendadak iri dengan gadis berbulu mata lentik ini. Boro-boro tiga kali
sehari, ibuku hampir tidak pernah menghubungiku selama aku di perantauan.
Memang beliau tidak memiliki telepon genggam. Tapi setidaknya toh kan bisa minta tolong Mbak Mayang
yang tinggal tepat di samping rumah. Sesekali jika kakak dengan watak lembut
itu menelepon, ingin rasanya mendengar kalimat ‘Ibu tanya kabarmu dek atau Ibu
kangen’ namun sepertinya itu harapan yang sia-sia. Ketika aku berada di rumah
ibuku pun tidak banyak bicara. Beliau tidak pernah menanyakan perkembangan kuliahku.
Namun
kondisi itu sebenarnya sudah tak asing lagi bagiku. Pernah ketika masih kecil
aku menangis berjam-jam setelah penerimaan rapor, bukan karena aku tak naik
kelas atau karena dimarahi Ibu karena nilai jelek. Tapi karena kala itu aku
mendapatkan peringkat pertama, sebab tahu Ibu tidak akan bertanya akhirnya aku
memberitahunya dengan harapan akan terlontar pujian darinya seperti yang diucapkan
oleh Ibu dari teman-temanku. Tapi pada kenyataannya Ibu sama sekali tidak
tertarik, beliau bahkan meninggalkanku sendirian tanpa menyentuh raporku sama
sekali. Sikap Ibu yang tak acuh
denganku membuatku tidak pernah betah berada di rumah. Jika saja Mbak Mayang
tidak memintaku untuk pulang mungkin detik ini aku masih berada di dalam kamar
kos kesayanganku.
Aku
melirik Risti yang mulai memejamkan matanya, mungkin ia kelelahan setelah
berceloteh hampir satu setengah jam lamanya. Aku mulai memutar kembali lagu
yang sempat terhenti tadi, jari-jariku sibuk memainkan ponsel, sampai akhirnya
tidak terasa bus kami sudah memasuki Kota Bumi W ali. Risti mulai menggeliat dan
membuka matanya. Setelah hampir sampai aku meminta izin untuk turun terlebih
dulu. Kulihat suami Mbak Mayang telah menunggu di samping gang dengan motornya.
Sesampainya di rumah aku melihat
ibuku tengah memberi makan ayam-ayamnya. Setelah memberi salam dan mencium
tangannya aku masuk rumah tanpa ada obrolan apapun. Aku merebahkan diriku di
kasur bermotif bunga tulip itu, ku pandangi kamar bercat ungu itu. Tidak ada
sarang laba-laba sama sekali, sepertinya Ibu rajin membersihkannya. Tak terasa
aku tertidur pulas.
Sekitar dua jam kemudian aku terbangun,
rasa haus memaksaku menuju ruang makan untuk mencari air. Semerbak aroma lezat
makanan tiba-tiba mampir di hidungku. Aku mencoba mengintip makanan yang
tertutup tudung saji di atas meja, ternyata Ibu masak rendang hari ini. Perutku
yang keroncongan pun berteriak untuk diisi. Tapi aku tidak menurutinya, aku
lebih memilih untuk mandi terlebih dahulu. Meskipun bayangan makanan favoritku
itu menggodaku puluhan kali.
Setelah menghabiskan dua piring
nasi, rasanya aku masih tidak ingin berhenti. Aku sedikit kaget ketika Ibu
tiba-tiba saja berada di sampingku. Ah sepertinya aku keasyikan makan , hingga
saat Ibu masuk ruangan itu pun aku tak tahu. Ternyata Ibu hendak menyuruhku
beli obat nyamuk di toko Bu Haji, aku bergegas mencuci piring dan menuruti perintah
Ibu.
“Wah kapan kamu pulang Nduk?”
tanya Bu Haji begitu aku memasuki tokonya.
“Tadi siang Bu Haji,” jawabku sambil tersenyum.
“Walah ... rendangnya pasti sudah
dimakan ya?”
Mendadak aku salah tingkah, aku
membalikkan badan mecoba mengecek bau mulutku. Ternyata tersisa bau rendang di
sana, pantas saja Bu Haji tahu. Aku hanya meringis malu.
“Kemarin Ibu kamu jual ayam ke saya,
katanya uangnya mau dibuat beli daging buat masak rendang kanggo anak rujune sing ayu dewe[1],” lanjut Bu Haji berkelakar.
Aku sedikit lega atas alasan yang
barusan kuterima, artinya bau mulutku baik-baik saja. Tapi aku sedikit terkejut
dengan pernyataan bahwa Ibu menjual ayamnya demi memasakkan aku rendang.
Padahal
butuh waktu lama untuk menunggu ayam-ayam itu tumbuh besar.
“Eh kamu mau beli apa?” pertanyaan Ibu berkerudung
lebar itu mengagetkanku.
“Beli obat nyamuk Bu.”
“Walah, obat nyamuknya tadi kelupaan
tidak di bawa ke toko, biar diambil ke rumah sebentar ya,” Bu Haji menjelaskan.
“Baik Bu,”
“Sri ambilkan obat nyamuk di rumah Sri, saya taruh di ruang tengah
atau tanya saja sama Pak Haji,” perintah Bu Haji pada pelayan toko yang dari
tadi sibuk membersihkan debu-debu yang menempel di rak. Kemudian permpuan
bertubuh kurus itu segera pergi
menuju rumah Bu Haji yang hanya berjarak 200 meter dari toko. Sembari menunggu,
Bu Haji melanjutkan obrolannya. Beliau menanyakan tentang perkembangan kuliahku, bahkan
beliau pun tahu bahwa aku menerima beasiswa di kampus.
“Alhamdulillah, doa Ibu kamu
terjawab ya Nduk,”
“Maksudnya Bu?”
“Ya kata Ibumu kamu ingin sekali
bisa kuliah sejak masuk SMA, tapi ya namanya bapak kamu sudah tidak ada beliau
khawatir tidak bisa mewujudkannya,” Bu Haji memperbaiki posisi duduknya, “tapi Ibumu
itu wanita kuat Nduk, beliau mengumpulkan sedikit-demi sedikit uang upah
buruh tani di sawah Pak Haji katanya buat kuliah kamu.” lanjut Bu Haji.
“Saya yakin setiap hari Ibumu
mendoakan kamu Nduk, lha wong ketika saya mau berangkat haji dulu, Ibu kamu titip doanya buat kamu kok bukan buat dirinya sendiri.”
Aku terdiam mendengar cerita Bu
Haji, memang benar waktu pertama kali berangat kuliah dulu Ibu memberiku
sejumlah uang yang cukup besar. Kini aku baru mengerti jika uang itu adalah
hasil tabungan Ibu sejak lama. Yang membuatku semakin bersalah adalah aku
merasa pongah bahwa beasiswa yang kudapatkan adalah hasil dari jerih payahku sendiri,
tanpa menyadari ada doa Ibu yang
menjadi sebab itu semua terjadi.
Setelah kuterima obat nyamuk yang
aku pesan, aku segera pulang. Di perjalanan adzan maghrib berkumandang,
kupercepat langkah kakiku. Aku bergegas memasuki rumah hendak memberikan
pesanan Ibu. Saat aku melewati ruang tengah tak sengaja aku melihat pintu kamar Ibu sedikit terbuka, aku mencoba mengintipnya. Di sana
tampak Ibu sedang duduk bersimpuh berbalut mukenah putih, sepertinya beliau
baru saja selesai sholat. Tangannya menengadah, melantunkan doa panjang kepada Sang
Pencipta. Aku mematung, tak terasa air mata penyesalan jatuh di pipiku. Ibu, maafkan aku telah kecewa karena kau tak pernah
menanyakan kabarku. Ibu, maafkan
aku yang lupa berterima kasih atas ketulusanmu yang tiada bosan menyebut namaku
dalam doamu.
[1] Untuk
anak bungsunya yang paling cantik
#Day15
#ODOPbatch6 #OneDayOnePost
Komentar
Posting Komentar